.
Powered by Blogger.

Laman

Mengapa Anak Harus Mampu Membaca Ekspresi Wajah


"Di sebuah keluarga, Adi (usia 5 tahun) tiba-tiba melemparkan mainan yang sedang dipegangnya, sehingga adiknya yang terkena lemparan menangis keras. Mama Adi yang melihat hal ini langsung menunjukkan
ekspresi wajah yang sedih bercampur marah di depan Adi tanpa mengatakan sepatah katapun. Tetapi Adi sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalahnya, dan tetap melemparkan mainannya kesana-kemari."

Apakah anda pernah melihat kejadian yang mirip dengan cerita diatas ?
Mengapa Adi bersikap seperti itu ?
Ternyata Adi tidak bisa memahami dengan baik apa maksud dari ekspresi wajah Mamanya.
Pertanyaannya, perlukah anak seusia Adi mengerti apa maksud dari setiap ekspresi wajah orang lain ?
Sebuah grup di Universitas Delaware mengadakan penelitian panjang terhadap anak usia pra-sekolah (usia 5 tahun) selama 4 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak-anak yang mampu memahami
ekspresi wajah orang lain dengan baik ternyata lebih jarang mengalami masalah dalam perilaku sosial maupun gangguan belajarnya.

Inti dari penelitian ini adalah bahwa pemahaman emosional dan kemampuan anak dalam mengatur emosinya sangat penting bagi anak dalam menghadapi lingkungan sosialnya di masa depan. Istilah
populernya adalah, disamping IQ, EQ (Emotional Quotient / Kecerdasan Emosi) juga merupakan faktor yang sangat penting dalam mendukung kesuksesan anak di masa depan. Adalah tugas kita sebagai orangtua untuk mengajarkan kepada anak kita tentang cara mengungkapkan perasaan yang sedang dialami oleh anak, dan mengenal nama dari perasaan tersebut.

 Dengan demikian anak akanmenjadi mengerti perasaan orang lain dari ekspresi wajahnya. Anak yang
tidak bisa mengungkapkan perasaannya cenderung untuk berperilaku kasar dalam bentuk kekerasan seperti memukul, melempar, dsb. Bagaimana cara mengajarkan hal ini kepada anak sejak dini ?

Banyak cara yang bisa dilakukan, misalnya adalah :
1.
Bercerita/mendongeng kepada anak tentang cerita yang berisi berbagai ekspresi perasaan dari para pemeran dongeng tersebut. Dalam bercerita ini anda perlu menunjukkan ekspresi tersebut
dengan sungguh-sungguh, sehingga anak dapat menangkap perasaan yang ada di balik ekspresi wajah anda.
2.
Jika anda bisa menggambar berbagai ekspresi wajah seperti tertawa, sedih, marah, dsb., anda bisa menggambarkannya di setiap muka ujung jari, dan ketika mau tidur, anda bisa bercerita
sambil menunjukkan gambar tersebut. Setelah itu, anda tanyakan kepada anak anda, misalnya, "Adi hari ini mengalami gambar yang ada di jari mana ?".
3.
Dan masih banyak lagi...
Bagi yang belum pernah menerapkannya....
Selamat Mencoba !


oleh : Taufan Surana

Read More...

Inteligensi dan IQ


Menurut David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.
 
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi adalah :
 
Faktor bawaan atau keturunan
Penelitian membuktikan bahwa korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga sekitar 0,50. Sedangkan di antara 2 anak kembar, korelasi nilai tes IQnya sangat tinggi, sekitar 0,90. Bukti lainnya adalah pada anak yang diadopsi. IQ mereka berkorelasi sekitar 0,40 - 0,50 dengan ayah dan ibu yang sebenarnya, dan hanya 0,10 - 0,20 dengan ayah dan ibu angkatnya. Selanjutnya bukti pada anak kembar yang dibesarkan secara terpisah, IQ mereka tetap berkorelasi sangat tinggi, walaupun mungkin mereka tidak pernah saling kenal.
 
Faktor lingkungan
 
Walaupun ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir, ternyata lingkungan sanggup menimbulkan perubahan-perubahan yang berarti. Inteligensi tentunya tidak bisa terlepas dari otak. Perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting.
 
Inteligensi dan IQ
Orang seringkali menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Arti inteligensi sudah dijelaskan di depan, sedangkan IQ atau tingkatan dari Intelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan.
 
Skor IQ mula-mula diperhitungkan dengan membandingkan umur mental (Mental Age) dengan umur kronologik (Chronological Age). Bila kemampuan individu dalam memecahkan persoalan-persoalan yang disajikan dalam tes kecerdasan (umur mental) tersebut sama dengan kemampuan yang seharusnya ada pada individu seumur dia pada saat itu (umur kronologis), maka akan diperoleh skor 1. Skor ini kemudian dikalikan 100 dan dipakai sebagai dasar perhitungan IQ. Tetapi kemudian timbul masalah karena setelah otak mencapai kemasakan, tidak terjadi perkembangan lagi, bahkan pada titik tertentu akan terjadi penurunan kemampuan.
 
Pengukuran Inteligensi
Pada tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, 2 orang psikolog asal Perancis merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (anak-anak yang kurang pandai). Alat tes itu dinamakan Tes Binet-Simon. Tes ini kemudian direvisi pada tahun 1911.
Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini disebut Tes Stanford_Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern, yang kemudian dikenal dengan Intelligence Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.
 
Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat tes yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak.
 
Di samping alat-alat tes di atas, banyak dikembangkan alat tes dengan tujuan yang lebih spesifik, sesuai dengan tujuan dan kultur di mana alat tes tersebut dibuat.
 
Inteligensi dan Bakat
Inteligensi merupakan suatu konsep mengenai kemampuan umum individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam kemampuan yang umum ini, terdapat kemampuan-kemampuan yang amat spesifik. Kemampuan-kemampuan yang spesifik ini memberikan pada individu suatu kondisi yang memungkinkan tercapainya pengetahuan, kecakapan, atau ketrampilan tertentu setelah melalui suatu latihan. Inilah yang disebut Bakat atau Aptitude. Karena suatu tes inteligensi tidak dirancang untuk menyingkap kemampuan-kemampuan khusus ini, maka bakat tidak dapat segera diketahui lewat tes inteligensi.
 
Alat yang digunakan untuk menyingkap kemampuan khusus ini disebut tes bakat atau aptitude test. Tes bakat yang dirancang untuk mengungkap prestasi belajar pada bidang tertentu dinamakan Scholastic Aptitude Test dan yang dipakai di bidang pekerjaan adalah Vocational Aptitude Test dan Interest Inventory. Contoh dari Scholastic Aptitude Test adalah tes Potensi Akademik (TPA) dan Graduate Record Examination (GRE). Sedangkan contoh dari Vocational Aptitude Test atau Interest Inventory adalah Differential Aptitude Test (DAT) dan Kuder Occupational Interest Survey.
 
Inteligensi dan Kreativitas
Kreativitas merupakan salah satu ciri dari perilaku yang inteligen karena kreativitas juga merupakan manifestasi dari suatu proses kognitif. Meskipun demikian, hubungan antara kreativitas dan inteligensi tidak selalu menunjukkan bukti-bukti yang memuaskan. Walau ada anggapan bahwa kreativitas mempunyai hubungan yang bersifat kurva linear dengan inteligensi, tapi bukti-bukti yang diperoleh dari berbagai penelitian tidak mendukung hal itu. Skor IQ yang rendah memang diikuti oleh tingkat kreativitas yang rendah pula. Namun semakin tinggi skor IQ, tidak selalu diikuti tingkat kreativitas yang tinggi pula. Sampai pada skor IQ tertentu, masih terdapat korelasi yang cukup berarti. Tetapi lebih tinggi lagi, ternyata tidak ditemukan adanya hubungan antara IQ dengan tingkat kreativitas.
 
Para ahli telah berusaha mencari tahu mengapa ini terjadi. J. P. Guilford menjelaskan bahwa kreativitas adalah suatu proses berpikir yang bersifat divergen, yaitu kemampuan untuk memberikan berbagai alternatif jawaban berdasarkan informasi yang diberikan. Sebaliknya, tes inteligensi hanya dirancang untuk mengukur proses berpikir yang bersifat konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang diberikan. Ini merupakan akibat dari pola pendidikan tradisional yang memang kurang memperhatikan pengembangan proses berpikir divergen walau kemampuan ini terbukti sangat berperan dalam berbagai kemajuan yang dicapai oleh ilmu pengetahuan.


Oleh Staff IQEQ  (iqeq.web.id) 
Read More...

Mempelajari Tangisan Bayi..


Setiap kali seorang bayi menangis, pasti si ibu akan menyorongkan payudaranya atau membopongnya.
Tapi, ketika dua hal itu sudah dilakukan, dan si mungil masih saja menangis, barulah si ibu bingung.
Nah, coba saja si ibu tahu arti tangisan itu, kan takperlu bingung?

Tapi, bagaimana tahu arti tangisan bayi?

Tangisan merupakan alat komunikasi pertama yang dikuasai bayi. Lewat tangisan, bayi mengutarakan
keinginan dan kebutuhannya secara efektif. Tak heran, bayi menghabiskan banyak waktu untuk aktivitas ini.
Dalam buku "Your Child's Body Language", Dr. Richard Woolfson menjelaskan bahwa tangisan bayi mempunyai arti berbeda-beda. Setiap jenis tangisan mengkomunikasikan pesan tersendiri untuk ayah ibunya.

Di bawah ini beberapa contoh tangisan bayi dan cara mengatasinya.

Tangisan "Aku Ingin Menyusu":

Bayi Anda akan mulai menangis jika lapar. Tangisannya biasanya berulang-ulang. Pertama, ia menangis lalu berhenti sejenak untuk mengambil napas, menangis lagi, berhenti sejenak untuk mengambil nafas, demikians seterusnya. Mengatasinya, susui dia hingga kenyang. Atau, jangan-jangan sudah waktunya makan?

Tangisan "Popokku Kotor":

Bayi lebih suka popoknya bersih dan kering. Jika popoknya basah ia akan menangis karena merasa tidak dari rasa tidak nyaman. Tangisan "pengumumam popokku kotor" biasanya perlahan, kemudian makin keras dan makin keras. Anda juga bisa memperhatikan bahwa ia bergeliut-geliut di tempat tidurnya. Mengatasinya, segera periksa popoknya. Ia barangkali memerlukan popok yang baru.

Tangisan "Badanku Sakiiit":

Semua bayi menangis jika ia merasa sakit. Tangisan jenis ini adalah tangisan bernada tinggi, hampir seperti jeritan, kemudian ia terengah-engah pada saat menarik nafas, lalu menjerit lagi.Jalan keluar, cobalah temukan apa yang membuatnya kesakitan. Pegang perutnya, jangan-jangan kejang. Goyang-goyang tangan, kaki atau leher dan kepalanya. Jika ia menjerit lebih keras ketika menggoyang bagian tertentu, mungkin ada yang sakit karena terjatuh tanpa sepengetahuan Anda. Kompreslah bagian yang sakit dengan air hangat.

Tangisan "Aku Bosan":

Bayi selalu memerlukan stimulasi dan akan timbul bosan jika ia tidak memperolehnya, atau bahkan bosan dengan satu aktivitas saja. Tangisan jenis ini dirancang untuk mendapat perhatian Anda. Makanya, tangisan ini lebih mirip teriakan ketimbang tangisan. Dan, ia akan tetap menagis seperti ini selama ia merasa bosan. Mengatasinya, ganti aktivitasnya. Misal, temani dia bermain, menyenandungkan nyanyian, membacakan cerita.atau bisa juga ajak jalan-jalan.

Tangisan minta gendong:

Bayi Anda akan menjadi cengeng jika lelah, walaupun ia mungkin tidak ingin tidur. Ia akan merengek dengan
menjengkelkan. Kepalanya mungkin terangguk-angguk untuk beberapa detik, dan mungkin Anda melihat bahwa ia menggosok-gosokkan tangannya pada mata serta wajahnya. Mengatasinya, ayunlah ia perlahan-lahan sampai akhirnya ia jatuh tertidur.

Tangisan kesepian:

Bayi Anda senang bergaul. Ia ingin Anda selalu berada di sisinya. Jika merasa kesepian, tangisannya akan
terdengar menyedihkan. Seakan ia tengah sedih atau marah. Mengatasinya, luangkan waktu bersamanya paling tidak sampai ia tenang. Jika Anda perlu menyelesaikan sesuatu, gendonglah ia sampai tenang, kemudian lanjutkan pekerjaan anda bersamanya di sisi Anda.


sumber: CyberNews Suara Merdeka
Read More...