.
Powered by Blogger.

Laman

Jujurlah, Apa yang kau ajarkan untuk anak-anak kita…..

Posted on
  • Friday, February 11, 2011
  • by
  • Bunda Safa
  • in
  • Sejauh-jauh kaki melangkah, umur kita akan berakhir juga. Kelak, di suatu waktu yang kita tak pernah tahu kapan datangnya, Allah Ta’ala akan mengirimkan utusan-Nya untuk menemui kita dan mengantarkan ruh kita ke hadapan-Nya. Akan ada tangis dan rasa kehilangan bagi orang-orang yang kita tinggalkan, meski tangis itu mungkin tertahan di dalam dada. Akan ada doa-doa yang diucapkan sebagai ungkapan cinta yang begitu besar, meski sebesar-besarnya cinta mereka tak akan mau menemani kita dalam kubur.

    Maka ketika itu, segala bentuk penghormatan tak berguna lagi. Hanya tiga yang masih bisa kita harapkan selain amal-amal yang sudah selesai pencatatannya: ilmu yang manfaat, amal jariyah, dan anak-anak shalih yang mendoakan.

    Kalau hari ini kita berharap mereka menjadi orang-orang hebat, punya gelar yang berderet-deret panjang, memiliki catatan prestasi yang tinggi, dan di waktu sekolah mereka selalu menjadi bintang kelas, maka itu semua tak lagi kita butuhkan ketika malaikat Allah lainnya datang bertamu kepada kita untuk memeriksa amal-amal kita.

    Tepuk tangan tak lagi indah untuk dikenang jika ia hampa dari kebaikan. Prestasi menakjubkan tak lagi membahagiakan jika tak disertai dengan keimanan. Bahkan doa-doa yang mereka panjatkan, tak ada artinya bagi kita jika tak disertai keshalihan. Bukankah doa-doa mereka hanya akan berguna apabila dipanjatkan dengan jiwa yang penuh keshalihan? Waladun shaalihun yad’ulah bermakna keshalihan yang diiringi dengan kesediaan untuk mendoakan orangtuanya.

    Tak ada gunanya mereka berdoa untuk kita bila pada diri mereka tak ada keshalihan, sebab shalih dulu baru doa. Andaikata anak-anak kita hidupnya penuh keshalihan, itu sudah cukup untuk mengantarkan kita pada kemuliaan di akhirat. Sebab setiap kali mereka melakukan ibadah dan amal shalih, selalu ada kebaikan yang tercatat untuk kita. Bukankah kita yang mengajarkan kebaikan pada mereka? Dan bukankah kalau kita mengajarkan kebaikan, lalu orang mengikutinya, maka bagi kita pahala sebagaimana pahala orang yang mengerjakannya?
    Wallahu a’lam bishawab.

    Teringatlah saya dengan firman Allah ‘Azza wa ta’ala,
    “Surga’Adn. Mereka masuk ke dalamnya bersama mereka yang shalih di antara orangtua mereka, isteri-isteri mereka, dan keturunan mereka, sedang malaikat-malaikat masuk ke ternvat-tempat mereka dari semua pintu.” (Ar-Ra’du: 23).
    Lihatlah! Allah sudah ciptakan surga ‘Adn untuk kita dan anak-anak kita. Sudah Ia ciptakan pula malaikat-malaikat yang akan masuk dari semua pintu untuk melayani segala yang kita mau. Sudah Ia ciptakan semua itu untuk kita dan anak-anak kita yang shalih. Tetapi sudah shalihkah kita sehingga berani berharap anak-anak yang shalih? Rasanya masih jauh. Maka kalau tanpa pertolongan Allah, apakah yang bisa kita harapkan dari dunia ini, sementara televisi selalu mengajak kita untuk lupa? Bahkan tayangan-tayangan yang disebut religius pun, yang mereka mempersaksikan isinya kepada Allah, lebih banyak yang meruntuhkan iman daripada yang membaguskannya.

    Ah, diam-diam saya teringat dengan firman Allah ketika memperingatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi w sallam:
    “Dan di antara manusia ada yang ucapannya tentang kehidupan dunia menakjubkan hatimu, dan dipersaksikanmjt kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia aMA penentang yang paling keras.” (Al-Baqarah: 204).
    Berhentilah berharap dari apa yang tidak kita upayakan. Berhentilah bermimpi tentang televisi yang bergizi untuk kesempurnaan ruhiyah anak-anak kita, kecuali jika engkau berbuat yang nyata. Kelak kita tak bisa mengajukan alasan kepada Allah di Yaumil-Hisab apabila anak kita tergerogoti imannya dan rapuh jiwanya gara-gara televisi.

    Tetapi apakah yang bisa kita andalkan selain mengharap pertolongan Allah, jika tanpa melihat pun tayangannya akan mempengaruhi anak kita secara diam-diam? Maka, apabila sekali waktu dadamu terasa sesak mendengar perkataan yang tidak layak dari anak-anak, mohonkanlah kepada Tuhanmu dengan jiwa yang menangis. Mohonkanlah dengan sungguh-sungguh, semoga setiap letih dan sedihmu akan mengantar mereka pada kemuliaan. Sesungguhnya di bawah telapak kakimu, wahai para ibu, ada surga anak-anakmu. Dan pada ruang batinmu, terletak keselamatan mereka di dunia hingga akhirat.


    Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya. Jika yang ada di ruang batinmu adalah dunia, maka ketika mengajarkan agama pun, dunia yang sampai pada mereka. Kita ajarkan berdoa pada mereka, tetapi yang mereka harap dari doa itu adalah dunia. Mereka rajin berpuasa Senin dan Kamis, tetapi mereka menahan lapar bukan karena mencintai sunnah Nabi, melainkan agar hajat-hajatnya pada dunia tercapai dan harapannya terkabul.


    Sebaliknya jika yang ada di ruang batinmu adalah harapan pada kehidupan yang kekal di kampung akhirat, insya Allah kemana pun mereka berjalan, di situlah mereka menghadapkan wajahnya kepada Allah. Inilah yang akan mengawal mereka, mengawasi perbuatannya, dan menjaga tindakannya. Dan inilah sebaik-baik pengawasan, sebab ia tidak mempersyaratkan hadirnya kita setiap saat. Alangkah banyak orangtua yang menggunakan kekuatannya untuk membuat anak tunduk. Sementara mereka lupa bahwa badan yang kekar ini akan lemah juga, suara yang keras ini akan sayu-sayup juga, dan mata yang selalu awas ini akan kehilangan kekuatannya juga; baik karena anak-anak yang semakin jauh ruang geraknya atau karena mata kita telah dimakan usia.


    Mengingat itu semua, maka siapkanlah anak-anak itu untuk hidup di negeri akhirat. Apa pun yang engkau kerjakan, jadikan ia sebagai jalan untuk mempersiapkan mereka menghadap Tuhannya. Kalau di saat dinginnya malam menusuk tulang mereka merepotkan kita, maka ikhlaskanlah kerepotan itu. Semoga Allah cukupkan kerepotan sampai di situ. Tidak berpanjang-panjang hingga akhirat. Sebab di hari kiamat, setiap kerepotan tak dapat diselesaikan, kecuali apabila kita mendapat syafa’at.


    Kalau engkau bangun di tengah malam untuk membuatkan susu untuk anakmu, aduklah ia dengan sungguh-sungguh sambil mengharap agar setiap tetes yang masuk kerongkongannya akan menyuburkan setiap benih kebaikan dan menyingkirkan setiap bisikan yang buruk. Kalau engkau menyuapkan makanan untuknya, maka mohonlah kepada Allah agar setiap makanan yang mengalirkan darah di tubuh mereka akan mengokohkan tulang-tulang mereka, membentuk daging mereka, dan membangkitkan jiwa mereka sebagai penolong-penolong agama Allah. Semoga dengan itu setiap suapan yang masuk ke mulut mereka akan membangkitkan semangat dan meninggikan martabat. Mereka bersemangat untuk senantiasa menuntut ilmu, menunaikan amanah dan meninggikan nama Tuhannya, Allah ‘Azza wa Jalla.


    Kalau setiap kali ada yang engkau inginkan dari dunia ini, perdengarkanlah kepada mereka pengharapanmu kepada Allah, sehingga mereka akan dapat merasakan sepenuh jiwa bahwa hanya kepada Allah kita meminta. Sesungguhnya anak-anak yang kuat jiwanya adalah mereka yang yakin kepada janji Tuhannya. Mere¬ka tidak menghiba pada manusia, dan tidak takjub pada nama-nama orang yang dise-but dengan penuh pujian. Hari ini, anak-anak kita sedang dilemahkan oleh media. Mereka diajak menak-jubi manusia. Padahal manusia yang ditakjubi itu tak kuasa untuk membuat diri mereka sendiri bersinar. Padahal untuk bisa disebut idola, mereka membutuhkan dukungan suara-suara kita.


    Ajarkan pada mereka keinginan untuk berbuat bagi agama Allah. Bangkitkan pada diri mereka tujuan hidup yang sangat kuat. Jika dua perkara ini ada pada diri mereka, insya Allah mereka akan tumbuh sebagai orang-orang yang penuh semangat. Kecerdasan mereka akan melejit; berkembang pesat dan bakatnya akan tumbuh dengan baik. Kalau saya boleh menengok teori kecerdasan majemuk, ada kecerdasan yang apabila berkembang akan merangsang kecerdasan lain untuk berkembang lebih pesat. Sementara pada anak-anak yang usianya telah tidak memungkinkan lagi mengembangkan kecerdasan, maka potensi kecerdasan yang ada akan melejit secara lebih optimal. Nah, kecerdasan yang dapat merangsang jenis-jenis kecerdasan lain itu adalah kecerdasan eksistensial. Intinya pada kepekaan untuk merasakan, menghayati dan memahami tujuan hidup di atas pijakan keyakinan terhadap Tuhan.

    Tanamkan juga pada diri mereka kesadaran untuk belajar menemukan fardhu kifayah di luar shalat jenazah yang menyangkut kepentingan ummat ini, insya Allah yang demikian ini akan mengasah kepekaannya terhadap tanggung jawab. Setiap saat ia belajar berpikir apa yang bisa dan sebaiknya dikerjakan bagi umat ini, sehingga membuat potensinya terasah dan kreativitasnya berkembang. InsyaAllah.
    Demikianlah. Setelah Allah berikan dunia kepada kita, maka apalagikah yang kita harapkan kecuali akhirat?*


    Penulis : Muhammad Fauzil Adhim
    Sumber: Majalah Hidayatullah, edisi November 2005

    0 comments:

    Post a Comment