Tradisi membaca yang kurang diminati tentu amat disayangkan. Apalagi kalau mengingat banyak orang sukses di negeri ini memulai kariernya dari kebiasaan membaca. Budaya membaca selayaknya tumbuh dari keluarga, dengan orang tua yang memegang peran utama.
Menumbuhan budaya membaca di Indonesia bukan perkara mudah. Hambatannya antara lain tingkat buta huruf yang tinggi. Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Departemen Pendidikan Nasional, Hamid Muhammad, jumlah perempuan buta aksara sekitar 6,3 juta orang dan 70% di antaranya berusia di atas 45 tahun. Sedangkan jumlah laki-laki buta aksara sekitar 3,4 juta orang. Jika ditotal, jumlah warga buta aksara 9,7 juta atau 5,97% dari jumlah penduduk Indonesia .
Hambatan lainnya, masalah infrastruktur. Kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau membuat lambatnya distribusi buku bacaan. Sebenarnya hambatan ini tidak begitu significant jika arus informasi melalui internet berjalan efektif.
Menyadari beratnya rintangan dalam pembudayaan membaca, pemerintah tidak tinggal diam. Lihat saja berbagai lomba diadakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sebagai contoh, lomba minat baca, lomba menulis tentang perpustakaan, dan lain-lain. Bahkan pemerintah menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi seperti UGM dan menggalakkan pemberantasan buta aksara melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Meskipun demikian tingkat keberhasilan pembudayaan membaca perlu didukung factor utama, yaitu keluarga. Budaya membaca tidak hanya sekedar duduk manis mendengarkan guru di sekolah. Para orang tua pun dapat memberikan contoh dengan meningkatkan intensitas dalam membaca buku, Koran, atau majalah kepada anak-anaknya. Cara lainnya, membuat perpustakaan kecil dalam keluarga.
Sumber : Rumah Pengetahuan Kompas
Dari Orang tua, budaya membaca bermula.
Posted on Friday, February 11, 2011 by Bunda Safa in
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment