Para pakar menilai, percaya diri adalah faktor penting yang menjadi
penentu seseorang akan sukses atau gagal. Karenanya, para pakar
psikologis banyak mengemukakan teknik-teknik membangkitkan rasa percaya
diri. Rasa percaya diri tidak didapatkan begitu saja, melainkan ia
harus diasah dan dipupuk sejak kecil.
Sejak usia dua tahun, anak mulai menentukan sikapnya terhadap
lingkungan di sekelilingnya. Beberapa psikolog perkembangan berpendapat
bahwa kepercayaan diri merupakan salah satu sense pertama yang masuk
ke dalam penentuan-penentuan sikap tersebut. Kemudian kekuatan perasaan
percaya diri yang mulai terbentuk pada usia tersebut sangat bergantung
pada perhatian yang diterima sang anak dan sikap orangtua dalam
memenuhi kebutuhannya.
Pada fase tersebut, anak menunjukkan sinyal-sinyal perkembangan
dengan menampakkan hasrat independensinya; memiliki kebebasan
berbicara, berjalan, dan bermain. Semua hal itu berhubungan dengan
kebutuhan untuk menegaskan dirinya yang hanya bisa diwujudkan dengan
memperkenankannya mengambil langkah-langkah independensi. Hal tersebut
juga ditegaskan teori perkembangan yang menyatakan bahwa kita harus
menghormati kepribadian anak-anak, membiarkan mereka untuk berkembang
secara alamiah.
Tak sedikit anak-anak yang tumbuh dewasa dengan tidak memiliki
kepercayaan diri yang tinggi. Sehingga mereka tidak mampu mengandalkan
diri mereka sendiri dalam urusan apa pun, baik yang besar maupun kecil.
Mereka tidak bisa mengambil inisiatif dan selalu menunggu seseorang
berkata, “Lakukanlah hal ini dan itu.” Jika menghadapi masalah, tak
sedikit anak perempuan yang tidak mampu mengambil keputusan, cenderung
menjauhi masalah, dan hanya bisa menangis.
Bisa jadi hal demikian
merupakan kesalahan para orangtua, disebabkan beberapa hal:
1. Orangtua terlalu berlebihan dalam mengawasi dan membatasi, baik
dalam persoalan besar maupun kecil; seringkali mengucapkan, “Jangan
melakukan itu, jangan melakukan ini.” Sehingga anak kehilangan
spontanitas dan kepercayaan diri dalam bertindak. Maka jangan heran
jika kemudian dia lebih banyak menunggu seseorang untuk mengoreksinya
dan menjamin bahwa dirinya melakukan hal yang tepat.
2. Selalu menyalahkan dan mengkritisi apa pun yang dilakukan oleh
anak-anak, mencari-cari kesalahan mereka, dan memarahinya jika
melakukan kesalahan-kecil yang tidak berarti. Maksudnya, anak-anak
lebih banyak dimarahi daripada diberi pujian atas berbagai usaha yang
dilakukannya. Sikap demikian justru akan menghancurkan motivasi
anak-anak untuk bertindak dan melakukan sesuatu yang baik.
3. Tidak memberi kesempatan kepada anak-anak untuk berbicara di
hadapan orang lain, ditakutkan mereka akan melakukan kesalahan atau
berbicara tentang hal-hal yang tidak diinginkan. Termasuk juga apabila
memperkenankan mereka untuk berbicara, setelah terlebih dulu
memberitahu mereka apa-apa saja yang boleh dibicarakan.
4. Selalu memberi peringatan kepada anak-anak tentang bahaya dari
sesuatu hal, sehingga membuat mereka senantiasa membayangkan hal-hal
buruk dan menyayangkan bahwa mereka dikelilingi segala marabahaya.
5. Senantiasa menganggap remeh mereka dan membanding-bandingkan
mereka dengan orang lain. Kedua hal tersebut membuat mereka berpikir
bahwa mereka tidak bernilai sama sekali.
6. Menjadikan mereka sebagai objek candaan, dan mengejek mereka.
7. Tidak memperhatikan permintaan-permintaan mereka.
8. Orangtua terlalu banyak memberi perhatian kepada mereka dengan
sikap yang menunjukkan kekhawatiran tentang –misalnya– kesehatan, masa
depan mereka, dan lain-lainnya. [ganna pryadha/voa-islam.com]
Dilansir dari Tansyi`at Al-Fatat Al-Muslimah, karya Hanan ‘Atiyah Al-Juhani.
Agar si Buah Hati Menjadi Percaya Diri
Posted on Sunday, February 17, 2013 by Bunda Safa in
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment